
Globalisasi Dunia Ketiga: Tantangan atau Tentangan ?
Memasuki era globalisasi, semua komponen bangsa dituntut mampu memiliki daya saing yang tangguh terhadap perkembangan dunia dalam tataran global. Bauman (2008) membahasakan globalisasi ini sebagai "perang ruang angkasa", di mana para pemenangnya adalah mereka yang mampu mengatasi batasan sehingga dapat mobile ke seluruh dunia dengan leluasa. Sebaliknya, seorang pecundang dalam globalisasi adalah mereka yang terkurung oleh dunianya sendiri dan tidak mampu memiliki mobilitas serta akses ke belahan dunia lain. Pemikiran Bauman ini mencerminkan bahwa dengan globalisasi yang mau tidak mau terus berjalan, manusia dihadapkan pada dua pilihan, yakni tetap survive menjadi pemenang atau akan tersingkir dalam arena persaingan (menjadi pecundang).
Saya merasa risau dengan nasib yang dialami oleh negara dunia ketiga (baca: negara berkembang) yang masih mengalami ketertinggalan. Apabila dibandingkan dengan negara maju, negara dunia ketiga memiliki perbedaan yang cukup jauh, meliputi aspek penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia yang rendah, taraf hidup rendah, dan sebagainya. Tidak berimbangnya kekuatan(power) antara posisi “Si Kuat” dan “Si Lemah” ini tentu memiliki implikasi jika keduanya saling bertemu dalam suatu persaingan (competition), yakni terjadinya intimidasi yang berlebih terhadap pihak yang memiliki kekuatan lebih lemah. Sudah bisa dipastikan bahwa pemenangnya adalah “Si Kuat” karena memiliki persediaan "amunisi" yang sudah teruji kehandalannya.
Jika melihat secara komprehensif, faktual permasalahan di Indonesia hampir sama dengan negara dunia ketiga lainnya, apalagi diperparah dengan globalisasi yang sebelah tangan, sehingga negara maju semakin menghegemonidunia. Negara dunia ketiga semakin terhimpit dan terjepit tidak mampu melepaskan dirinya dari cengkeraman "bos-bos global", bahkan memunculkan ketergantungan (dependent), kemudian yang terjadi adalah kemiskinan multidimensional. Herbert Gans menyebutkan ada tiga poin penyebab kemiskinan tetap berlangsung dalam masyarakat dunia ketiga: Pertama, kemiskinan itu dirasa masih berfungsi dengan baik (functional) di masyarakat dalam berbagai komponen.Kedua, belum ditemukannya suatu rumusan yang baru dan tepat di dalam memfungsikan orang miskin. Ketiga, alternatif solusi kadarnya masih mahal jika dibandingkan dengan imbalan yang diberikan.
Generasi muda sebagai pewaris bangsa dan negara Indonesia juga perlu mendapat dorongan serta pembelajaran sejak dini untuk mencintai negerinya, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan kecintaan terhadap ibu pertiwi, maka akan tumbuh inovasi dan kreatifitas untuk memajukan negeri. Arbi Sanit (1999) dalam bukunya “Pergolakan Melawan Kekuasaan”, menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai elemen generasi muda mempunyai peluang untuk tampil terdepan di dalam menyuarakan proses perubahan masyarakat. Pertama, mahasiswa sebagai elemen korektif atas berbagai penyimpangan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. dan secara substantif, kritikan itu perlu adanya agar penguasa (pemerintah) tidak keblingeroleh kekuasaan. Kedua, mahasiswa sebagai penggugah kesadaran masyarakat secara holistik terhadap berbagai kompleksitas permasalahan, sehingga menumbuhkan sikap masyarakat yang kritis, mampu memahami perubahan sosial, serta menerima alternatif perubahan yang bermuara pada pencapaian kesejahteraan.
Dengan demikian, mutlak diperlukan kesatupaduan berbagai elemen bangsa, baik itu pemerintah, kalangan akademisi, pengusaha, buruh, maupun masyarakat luas untuk menjadikan globalisasi sebagai sebuah tantangan disamping tentangan agar kita senantiasa memperbaiki kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Indonesia mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan yang terpenting agar amanat konstitusi untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar