HAKIKAT
PENDIDIKAN
Modal utama dalam
mengembangkan potensi manusia menjadi manusia yang “tercerahkan”adalah
pendidikan. Pendidikan mampu meruntuhkan penjara kebodohan manusia, membalikkan
dari yang gelap menjadi terang, pembuka pintu kepada kesadaran diri,
meningkatkan harkat dan martabat manusia serta membebaskan manusia dari
penindasan. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia yang buta huruf adalah
manusia kosong dan itu adalah awal dari penindasan. Sedangkan penindasan
merupakan tindakan yang tidak manusiawi ( dihumanisasi ). Jika kita lihat hari
ini, buruh selalu menjadi korban dari keserakahan kelas yang berkuasa. Buruh
bekerja di pabrik memeras keringat, membanting tulang dengan upah murah.
Hegemoni penguasa menjadikan “kebudayaan diam”, sehingga buruh tidak berani
mempertanyakan tentang keberadaannya (eksistensinya) dan akhirnya terjerumus
pada kesadaran buta ( fatalisme ) menerima keberadaan tersebut. Dan tujuan
utama dari pendidikan adalah membuka kesadaran buruh ( rakyat) guna mengetahui
realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi
social.
Secara hakikatnya buruh
mempunyai kapasitas untuk mengubah dunia. Oleh karena itu buruh dituntut untuk
selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensinya. Maka
sejatinya pendidikan adalah alat pembebasan manusia dari belenggu penindasan.
NEGARA
SEBAGAI ALAT KELAS YANG BERKUASA
Guna merealisasi
pendidikan sebagai alat pembebasan dibutuhkan perangkat aturan
perundang-undangan agar sistematis dan terarah. Kemudian Negara yang memiliki
politic will mengamanatkan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 bahwa
”Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”serta UUD 1945 pasal 31
dimana “Setiap warga Negara berhak atas pendidikan dan Negara menjaminnya’.
Maka sudah jelas bahwa peran dan posisi Negara yakni sebagai penyelenggara dan
bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikan nasional. Akan tetapi
berlangsungnya system kapitalisme di tengah-tengah kehidupan telah membentuk
paradigma Negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Dimana
seharusnya pendidikan sebagai hak public telah menjadi jasa komoditas yang di
perjual belikan.Sehingga posisi Negara tidak lain merupakan alat dari kelas
yang sedang berkuasa.Ketika hari ini kelas borjuasi yang berkuasa maka Negara
selalu melidungi dan memfasilitasi kepentingannya.
JEJAK
KAPITALISASI PENDIDIKAN
Skema yang sekarang paling
banyak di pakai untuk mempercepat ekspansi kapitalisme internasional adalah
melalui perjanjian perdagangan bebas ( liberalisasi ekonomi ). Dan Indonesia
dari banyak segi merupakan pasar potensial karena di segi pendidikan masih jauh
tertinggal dalam tingkat mutu akademik di banding dengan Negara Malaysia,
Filiphina, dan Singapura.
Kapitalisasi pendidikan
tidak terlepas dari desain kapitalisme internasional melalui perangkat seperti
WTO (World Trade Organization). Sebagai anggota WTO Indonesia telah
menandatangani GAT’s ( General Agreement On Trade in Service ) yang mengatur
tentang arah liberalisasi di sector jasa termasuk pendidikan. Dalam GAT’s
dinyatakan bahwa pendidikan merupakan komoditas yang tata perdagangannya diatur
dalam mekanisme pasar. Sementara itu implementasi dari perdagangan jasa
pendidikan (tinggi) ini dikemas dalam banyak model,satu diantaranya Model
Commercial Presense, yaitu penjualan jasa pendidikan (tinggi) oleh lembaga di
suatu Negara bagi konsumen yang ada di Negara lain dengan mewajibkan kehadiran
secara fisik lembaga penjual jasa dari Negara itu. Kemudian WTO menetapkan
pendidikan nasional sebgai salah satu bentuk pelayanan sector public yang harus
di privatisasikan dan menempatkannya sebagai industry pendidikan
Dampak
kapitalisasi Pendidikan
Dari hasil kesepakatan
internasional diataslah kemudian diturunkan melalui regulasi-regulasi yang
meliberaliasasikan pendidikan nasional seperti Badan Hukum Milik Negara (
BUMN), UU No.20 tahun 2003 tentang system Pendidikan nasional serta RUU
Perguruan Tinggi yang masih dibahas parlemen sebagai daya tarik investor dengan
tata kelola perguruan tinggi.Dengan kapitalisasi pendidikan, Negara telah
menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar dan tanggung
jawab Negara selanjutnya adalah memastikan sirkulasi modal (comoditas jasa
pendidikan) berjalan tanpa hambatan. Dengan demikian lembaga atau institusi pendidikan
tidak ubahnya seperti perusahaan yang mematok biaya setinggi-tingginya (profit
oriented). Sehingga kapitalisasi pendidikan telah menutup peluang dan
kesempatan buruh dalam memperoleh hak pendidikan yang berkualitas. Apalagi
sekarang terdapat proyek bisnis Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ( RSBI
) dan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ) dengan biaya yang selangit (
sangat mahal ). Menurut data pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp
200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6
juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP Rp.450.000 dan DSP Rp.6 juta. Di SMU/SMK,
besarnya SPP Rp.500.000 dan DSP Rp.15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk
biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding sekolah di luar negeri (
kompas cetak, 6 november 2010).
Tertutupnya akses
pendidikan nasional ini juga akan menambah angka putus sekolah dan
memperpanjang parade tentara cadangan industry (penngangguran). Persoalan
pengangguran ini pun dijadikan senjata oleh kelas borjuasi untuk menerapkan
praktek Labour Market Flexibility ( LMF). LMF ini merupakan kepentingan kelas
pemodal (pengusaha) yang kemudian diturunkan pada UU Ketenagakerjaan no.13
tahun 2003, yaitu dilegalkannya system kerja kontrak dan outsourching. Lagi
lagi kepentingan borjuasi adalah akumulasi modal sebanyak-banyaknya melalui
politik upah murah terhadap buruh.
Upah buruh yang
mayoritas masih di bawah UMR, Dibawah kelayakan hidup akan merasa terbebani,
jangankan untuk membiayai kuliah, untuk biaya SD atau SMP pun buruh masih
berpikir dua kali. Misalnya buruh diupah dalam 1 bulan sebesar Rp.1200.000,
sedangkan kebutuhan hariannya banyak, diantaranya untuk belanja sembako, bayar
listrik, mencicil kontrakan, biaya pengobatan, uang transport dll. Dengan
begitu sangat tidak mungkin bagi buruh untuk mennyekolahkan anaknya ke jenjang
pendidikan lebih tinggi, kapitalisasi pendidikan juga telah merombak kurikulum
yang ilmiah menjadikan kurikulum yang pro pasar. Wujud nyata dari hal tersebut
adalah lahirnya “kurikulum interpreneurship (kewirausahaan)” yang dijadikan
propaganda “ideology” maupun sebagai ilusi untuk mampu bersaing di pasar tenaga
kerja. Mayoritas sarjana-sarjana pun yang dihasilkan dari system ini
(kapitalisasi pendidikan) akan menjauh dari realitas yang sedang terjadi di
tengah-tengah kondisi buruh dan sebaliknya mereka akan menjadi bagian pendukung
bagi kelas yang berkuasa ( borjuasi ). Hal itu terlihat dari banyaknya
sarjana-sarjana yang ada di PHI dan Dinas Ketenagakerjaan, namun jauh
keberpihakannya terhadap buruh bahkan sering kali memojokkan posisi kaum buruh.
ARAH
PENDIDIKAN NASIONAL kedepan : Pendidikan gratis, ilmiah, Demokratis dan Bervisi
Kerakyatan.
Seperti telah disebutkan
diatas bahwa kapitalisasi pendidikan telah menutup akses buruh ( rakyat ) dalam
mengenyam pendidikan. Disinilah bagaimana menempatkan posisi Negara kembali
untuk sepenuhnya bertanggung-jawab atas pelaksanaan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional tersebut haruslah dapat di akses oleh seluruh lapisan
masyarakat termasuk buruh. Maka pendidikan gratis adalah solusi bagi akses
keterlibatan buruh ( rakyat ) terhadap pendidikan. Dan kita ketahui bahwa
pendidikan menjadi salah satu kebutuhan dasar massa rakyat yang harus dipenuhi.
Pendidikan nasional juga
harus bisa memajukan pola berfikir dan kesadaran serta dapat meningkatkan
harkat-martabat kaum buruh (rakyat). Pendidikan bukan isian dogma dan kultus
namun pendidikan harus sesuai dengan realitas yang ada. Nilai-nilai ke
ilmiah-an merupakan syarat kemajuan peradaban umat manusia. Kemudian pendidikan
gaya
kolonialisme dan kapitalistik secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan iklim
yang demokratis, yaitu keyakinan yang mendalam dan hakiki akan adanya pengakuan
hak-hak kewajiban yang menjunjung nilai persaudaraan. Disini peserta didik
mempunyai kesempatan yang sama dalam memberikan ide dan gagasan serta kebebasan
dalam pengeluaran pendapat maupun kritik terhadap kebijakan pendidikan.
Selanjutnya pendidikan nasional harus sinergis dengan kebutuhan rakyat ( buruh
). Dalam hal ini, pendidikan memiliki tanggung-jawab sosial ( kerakyatan
).Dengan demikian, pendidikan kita akan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan
rakyat guna terwujudnya kehidupan masyarakat yang demokratis secara politik,
adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Dengan
Persatuan, hancurkan Kapitalisasi Pendidikan
Persoalan pendidikan
sejatinya bukan hanya persoalan mahasiswa atau civitas akademika kampus semata
melainkan persoalan keumuman massa
rakyat. Bisa kita lihat posisi politik di Negara kita sebagai Suprastruktur
hanya mengakomodir kepentingan segelintir kelas Borjuasi dan melemahkan
kepentingan buruh (rakyat). Rezim beserta Aparatur Negara lainnya bukannya
tidak mampu tapi tidak ada keinginan untuk merubah tatanan negeri ini lebih
maju, namun mereka berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan watak keberpihakan
kelasnya yaitu kelas pemodal.
Karena Rezim beserta
elit politik lainnya hanya tunduk dan menghamba pada system kapitalisme yang
serakah, maka tidak ada jalan lain, kecuali menghancurkan kapitalisasi
pendidikan yang telah menggurita serta Rezim dan elit politik borjuasi dengan
persatuan gerakan rakyat di bawah kepemimpinan kelas buruh. Hanya dengan
persatuan inilah, sejatinya rakyat ( buruh ) menentukan masa depannya sendiri.