Kamis, 01 Maret 2012

KAPITALISASI PENDIDIKAN


HAKIKAT PENDIDIKAN
Modal utama dalam mengembangkan potensi manusia menjadi manusia yang “tercerahkan”adalah pendidikan. Pendidikan mampu meruntuhkan penjara kebodohan manusia, membalikkan dari yang gelap menjadi terang, pembuka pintu kepada kesadaran diri, meningkatkan harkat dan martabat manusia serta membebaskan manusia dari penindasan. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia yang buta huruf adalah manusia kosong dan itu adalah awal dari penindasan. Sedangkan penindasan merupakan tindakan yang tidak manusiawi ( dihumanisasi ). Jika kita lihat hari ini, buruh selalu menjadi korban dari keserakahan kelas yang berkuasa. Buruh bekerja di pabrik memeras keringat, membanting tulang dengan upah murah. Hegemoni penguasa menjadikan “kebudayaan diam”, sehingga buruh tidak berani mempertanyakan tentang keberadaannya (eksistensinya) dan akhirnya terjerumus pada kesadaran buta ( fatalisme ) menerima keberadaan tersebut. Dan tujuan utama dari pendidikan adalah membuka kesadaran buruh ( rakyat) guna mengetahui realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi social.
Secara hakikatnya buruh mempunyai kapasitas untuk mengubah dunia. Oleh karena itu buruh dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensinya. Maka sejatinya pendidikan adalah alat pembebasan manusia dari belenggu penindasan.
NEGARA SEBAGAI ALAT KELAS YANG BERKUASA
Guna merealisasi pendidikan sebagai alat pembebasan dibutuhkan perangkat aturan perundang-undangan agar sistematis dan terarah. Kemudian Negara yang memiliki politic will mengamanatkan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 bahwa ”Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”serta UUD 1945 pasal 31 dimana “Setiap warga Negara berhak atas pendidikan dan Negara menjaminnya’. Maka sudah jelas bahwa peran dan posisi Negara yakni sebagai penyelenggara dan bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikan nasional. Akan tetapi berlangsungnya system kapitalisme di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma Negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Dimana seharusnya pendidikan sebagai hak public telah menjadi jasa komoditas yang di perjual belikan.Sehingga posisi Negara tidak lain merupakan alat dari kelas yang sedang berkuasa.Ketika hari ini kelas borjuasi yang berkuasa maka Negara selalu melidungi dan memfasilitasi kepentingannya.
JEJAK KAPITALISASI PENDIDIKAN
Skema yang sekarang paling banyak di pakai untuk mempercepat ekspansi kapitalisme internasional adalah melalui perjanjian perdagangan bebas ( liberalisasi ekonomi ). Dan Indonesia dari banyak segi merupakan pasar potensial karena di segi pendidikan masih jauh tertinggal dalam tingkat mutu akademik di banding dengan Negara Malaysia, Filiphina, dan Singapura.
Kapitalisasi pendidikan tidak terlepas dari desain kapitalisme internasional melalui perangkat seperti WTO (World Trade Organization). Sebagai anggota WTO Indonesia telah menandatangani GAT’s ( General Agreement On Trade in Service ) yang mengatur tentang arah liberalisasi di sector jasa termasuk pendidikan. Dalam GAT’s dinyatakan bahwa pendidikan merupakan komoditas yang tata perdagangannya diatur dalam mekanisme pasar. Sementara itu implementasi dari perdagangan jasa pendidikan (tinggi) ini dikemas dalam banyak model,satu diantaranya Model Commercial Presense, yaitu penjualan jasa pendidikan (tinggi) oleh lembaga di suatu Negara bagi konsumen yang ada di Negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari Negara itu. Kemudian WTO menetapkan pendidikan nasional sebgai salah satu bentuk pelayanan sector public yang harus di privatisasikan dan menempatkannya sebagai industry pendidikan
Dampak kapitalisasi Pendidikan
Dari hasil kesepakatan internasional diataslah kemudian diturunkan melalui regulasi-regulasi yang meliberaliasasikan pendidikan nasional seperti Badan Hukum Milik Negara ( BUMN), UU No.20 tahun 2003 tentang system Pendidikan nasional serta RUU Perguruan Tinggi yang masih dibahas parlemen sebagai daya tarik investor dengan tata kelola perguruan tinggi.Dengan kapitalisasi pendidikan, Negara telah menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar dan tanggung jawab Negara selanjutnya adalah memastikan sirkulasi modal (comoditas jasa pendidikan) berjalan tanpa hambatan. Dengan demikian lembaga atau institusi pendidikan tidak ubahnya seperti perusahaan yang mematok biaya setinggi-tingginya (profit oriented). Sehingga kapitalisasi pendidikan telah menutup peluang dan kesempatan buruh dalam memperoleh hak pendidikan yang berkualitas. Apalagi sekarang terdapat proyek bisnis Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ( RSBI ) dan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ) dengan biaya yang selangit ( sangat mahal ). Menurut data pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP Rp.450.000 dan DSP Rp.6 juta. Di SMU/SMK, besarnya SPP Rp.500.000 dan DSP Rp.15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding sekolah di luar negeri ( kompas cetak, 6 november 2010).
Tertutupnya akses pendidikan nasional ini juga akan menambah angka putus sekolah dan memperpanjang parade tentara cadangan industry (penngangguran). Persoalan pengangguran ini pun dijadikan senjata oleh kelas borjuasi untuk menerapkan praktek Labour Market Flexibility ( LMF). LMF ini merupakan kepentingan kelas pemodal (pengusaha) yang kemudian diturunkan pada UU Ketenagakerjaan no.13 tahun 2003, yaitu dilegalkannya system kerja kontrak dan outsourching. Lagi lagi kepentingan borjuasi adalah akumulasi modal sebanyak-banyaknya melalui politik upah murah terhadap buruh.
Upah buruh yang mayoritas masih di bawah UMR, Dibawah kelayakan hidup akan merasa terbebani, jangankan untuk membiayai kuliah, untuk biaya SD atau SMP pun buruh masih berpikir dua kali. Misalnya buruh diupah dalam 1 bulan sebesar Rp.1200.000, sedangkan kebutuhan hariannya banyak, diantaranya untuk belanja sembako, bayar listrik, mencicil kontrakan, biaya pengobatan, uang transport dll. Dengan begitu sangat tidak mungkin bagi buruh untuk mennyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan lebih tinggi, kapitalisasi pendidikan juga telah merombak kurikulum yang ilmiah menjadikan kurikulum yang pro pasar. Wujud nyata dari hal tersebut adalah lahirnya “kurikulum interpreneurship (kewirausahaan)” yang dijadikan propaganda “ideology” maupun sebagai ilusi untuk mampu bersaing di pasar tenaga kerja. Mayoritas sarjana-sarjana pun yang dihasilkan dari system ini (kapitalisasi pendidikan) akan menjauh dari realitas yang sedang terjadi di tengah-tengah kondisi buruh dan sebaliknya mereka akan menjadi bagian pendukung bagi kelas yang berkuasa ( borjuasi ). Hal itu terlihat dari banyaknya sarjana-sarjana yang ada di PHI dan Dinas Ketenagakerjaan, namun jauh keberpihakannya terhadap buruh bahkan sering kali memojokkan posisi kaum buruh.
ARAH PENDIDIKAN NASIONAL kedepan : Pendidikan gratis, ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa kapitalisasi pendidikan telah menutup akses buruh ( rakyat ) dalam mengenyam pendidikan. Disinilah bagaimana menempatkan posisi Negara kembali untuk sepenuhnya bertanggung-jawab atas pelaksanaan pendidikan nasional. Pendidikan nasional tersebut haruslah dapat di akses oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk buruh. Maka pendidikan gratis adalah solusi bagi akses keterlibatan buruh ( rakyat ) terhadap pendidikan. Dan kita ketahui bahwa pendidikan menjadi salah satu kebutuhan dasar massa rakyat yang harus dipenuhi.
Pendidikan nasional juga harus bisa memajukan pola berfikir dan kesadaran serta dapat meningkatkan harkat-martabat kaum buruh (rakyat). Pendidikan bukan isian dogma dan kultus namun pendidikan harus sesuai dengan realitas yang ada. Nilai-nilai ke ilmiah-an merupakan syarat kemajuan peradaban umat manusia. Kemudian pendidikan gaya kolonialisme dan kapitalistik secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan iklim yang demokratis, yaitu keyakinan yang mendalam dan hakiki akan adanya pengakuan hak-hak kewajiban yang menjunjung nilai persaudaraan. Disini peserta didik mempunyai kesempatan yang sama dalam memberikan ide dan gagasan serta kebebasan dalam pengeluaran pendapat maupun kritik terhadap kebijakan pendidikan. Selanjutnya pendidikan nasional harus sinergis dengan kebutuhan rakyat ( buruh ). Dalam hal ini, pendidikan memiliki tanggung-jawab sosial ( kerakyatan ).Dengan demikian, pendidikan kita akan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat guna terwujudnya kehidupan masyarakat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Dengan Persatuan, hancurkan Kapitalisasi Pendidikan
Persoalan pendidikan sejatinya bukan hanya persoalan mahasiswa atau civitas akademika kampus semata melainkan persoalan keumuman massa rakyat. Bisa kita lihat posisi politik di Negara kita sebagai Suprastruktur hanya mengakomodir kepentingan segelintir kelas Borjuasi dan melemahkan kepentingan buruh (rakyat). Rezim beserta Aparatur Negara lainnya bukannya tidak mampu tapi tidak ada keinginan untuk merubah tatanan negeri ini lebih maju, namun mereka berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan watak keberpihakan kelasnya yaitu kelas pemodal.
Karena Rezim beserta elit politik lainnya hanya tunduk dan menghamba pada system kapitalisme yang serakah, maka tidak ada jalan lain, kecuali menghancurkan kapitalisasi pendidikan yang telah menggurita serta Rezim dan elit politik borjuasi dengan persatuan gerakan rakyat di bawah kepemimpinan kelas buruh. Hanya dengan persatuan inilah, sejatinya rakyat ( buruh ) menentukan masa depannya sendiri.