OUTSOURCHING PENGINGKARAN HAK BURUH
1. SUATU PENDAHULUAN
D
|
ewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya
polarisasi social diantara para pemilik capital dengan pekerja. Kebebasan kaum
kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor
produksi,dengan faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk
memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya.
Termasuk kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara. Kondisi dunia yang
telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global mencengkram seluruh
sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu eksploitatif dan
ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga pencapaian
tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masif. Kondisi
tersebut juga didukung oleh kemajuan ICT (information communication
technology), sebagai corong utama penyebaran produk kapitalisme.
Menurut Tabb dalam Susetiawan, bahwa konstruksi kelembagaan untuk
mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional
antara lain WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Tradeand
Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan
berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang
penting bagi Korporasi Besar Dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah
pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga mencengkram
seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar sampai
perekonomian rakyat kecil.
Ekspansi besar-besaran perusahaan multi nasional disertai juga
dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan sistem hubungan kerja
yang fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja kontrak. Mekanisme kerja
tersebut dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi
tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan buruh. Kata
kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir identik dengan
kue keuntungan yang makin besar. Rekson Silaban, mencatat beberapa masalah utama
perburuhan di Indonesia Pasca Reformasi yaitu masalah pengangguran yang
berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja sektor informal, masalah
pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak,
masalah sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga
kerja.
Masalah tersebut menjadi isu-isu yang cukup strategis, apalagi
pada saat kampanye partai politik. Agenda yang selalu menjadi perdebatan yang
tidak pernah habis-habisnya karena isu tersebut tetap dijaga sebagai alat
kepentingan politik atau dengan kata lain komodifikasi isu-isu perburuhan demi
pencapaian tujuan politik. Paper ini akan memfokuskan analisis mengenai model
kerja Outsourcing sebagai sebuah mekanisme perburuhan yang lahir dari rahim
kapitalisme modern, yang mencederai hak-hak buruh.
Berdasarkan uraian tersebut menjadi permasalahan utama dalam
kajian ini yaitu ;
Pertama,Bagaimana
mekanisme outsourcing dalam industri di Indonesia , sebagai sistem
perburuhan yang mengingkari hak-hak buruh. Akan dilihat bagaimana hubungan
buruh serta kedudukan buruh dalam sistem tersebut ?.
Kedua,
bagaimana indikasi-indikasi pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja
outsourcing?, dengan persfektif teori
alienasi dan nilai surplus Karl Marx.
1. Outsourcing, Sebuah Alienasi dan Nilai
Surplus Suatu Tinjauan Teoritik.
K
|
apitalisme dalam persfektif Marx, tidaklah secara sederhana
berarti sebuah sistem produksi bagi pasar, tetapi juga sistem yang dalam
keadaan kekuatan buruh telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar
seperti objek-objek pertukaran lainnya. Kondisi inilah yang mewarnai sistem
perburuhan dewasa ini. Model kerja outsourcing sebagai anak kandung dari rahim
kapitalisme dewasa ini, telah melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi secara
besar-besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal yang
sebesar-besarnya. Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas
pasar kerja dan dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dalam rangkaian proses
produksi. Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian
atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung
strategi pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun
sebuah unit dalam perusahaan. Outsourcing memiliki dua jenis pertama,
outsourcing pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak
lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe outsourcing yang kedua merupakan praktek
yang memberikan efisiensi pada tingkat tertentu dalam operasional bisnis, namun
merugikan secara serius kepentingan buruh dipihak lain. Praktek inilah yang
ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya.
Dalam model kerja outsourcing buruh merupakan komoditi yang
dikebiri hak-hak kemanusiaannya. Inilah wajah dari kapitalisme sebagai sebuah
sistem yang menggerogoti tubuh-tubuh buruh dengan harga dan imbalan yang tidak seimbang.
Hal ini tentunya sangat ironis, buruh sebagai tulang punggung produksi tidak
mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja yang mereka lakukan. Menurut Lipson
dalam Raharjo, bahwa esensi dari kapitalisme yaitu sistem upah yang dalam
keadaan ini, buruh tidak mempunyai hak pemilikan terhadap barang-barang yang
dibuatnya; buruh tidak menjual buah dari kerjanya, melainkan kerja itu sendiri.
Sistem perburuhan melalui outsourcing dapat dipahami dengan
kerangka pemikiran besar Karl Marx,
yaitu teori nilai surplus untuk melihat mekanisme kerja outsouring dan teori
alienasi untuk melihat kondisi buruh dalam sistem tersebut. Analisis Marx
mengenai keterasingan didalam produksi kapitalis, bertolak pada suatu fakta
ekonomi kontemporer bahwa makin maju kapitalisme, akan semakin miskin pula
buruh. Begitu juga dalam hubungan perburuhan dewasa ini, sifat eksploitatif
sistem kapitalis semakin kuat mencengkram buruh, dengan berbagai mekanisme
perburuhan untuk memberikan surplus bagi produksi mereka.
Menurut Marx dalam Ritzer, bahwa kerja bukan sebagai sebuah
ekspresi dari tujuan, tidak ada objektivasi. Tetapi buruh bekerja berdasarkan
tujuan kapitalis yang menggaji dan mengupah mereka. Kerja dijadikan sebagai
reduksi untuk mencapai tujuan dari kapitalis.
Alienasi memiliki beberapa dimensi, yang akan digunakan dalam
melihat model perburuhan melalui outsourcing;
Pertama, buruh
teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk
kapitalis.
Kedua, buruh
teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk
memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik
kapitalis.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama
pekerja.
Keempat, buruh
tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak
lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia.
Selain dimensi alienasi akan dilihat juga nilai surplus dari
mekanisme outsourcing. Nilai surplus muncul sebagaiakibat dari eksploitasi dan
dominasi dari kapitalisme tidak hanya sekedar distribusi kesejahteraan dan
kekuasan yang tidak seimbang. Paksaan tidak dianggap sebagai kekerasan, malah
dianggap sebagai kebutuhan pekerja itu sendiri yang hanya bisa dipenuhi melalui
upah. Nilai surplus merupakan nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh dalam
bekerja. Seorang buruh yang mampu menghasilkan suatu produksi dalam waktu
beberapa jam untuk mencapai targetan pokok, dan sisa waktunya adalah nilai surplus
bagi kapitalis untuk mendapatkan produk tanpa imbalan ke faktor produksi yaitu
buruh. Hak-hak tersebut diambil alih oleh kapitalis, Marx menyebut rasio antara
kerja yang diperlukan dan kerja surplus sebagai tingkat nilai surplus atau
tingkat pemerasan. Kedua pisau analisis tersebut akan menjadi acuan dalam
analisis sistem perburuhan outsourcing. Dalam melihat outsoursing ada dua
pendekatan yaitu dari sisi perusahaan (penguasa modal) dan dari persfektif
buruh. Persfektif dasar dengan landasan yang berbeda memberikan penafsiran yang
juga berbeda pula. Praktek outsourcing merupakan gejala global yang dapat
dipandang sebagai ikon dari globalisasi. Outsourcing merupakan bagian dari
mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk melakukan efisiensi dalam industri,
tetapi dari sisi lain menimbulkan ketidakpastian kerja. Kontroversi sistem
outsourcing memunculkan perdebatan panjang antara pihak perusahaan dengan kaum
buruh, salah satu diuntungkan dan yang lainnya dirugikan.
2. Melacak
Mekanisme Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
P
|
erkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada
puncaknya menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi
informasi dan transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara
menjadi tidak penting lagi, hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi
tidak mampu membendung pernyebaran ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia
menjadi sebuah kampung global. Menurut James J dalam Francis Wahono, bahwa
globalisasi merupakan pengintegrasian internasional individu-individu dengan
jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang
terjadi secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang belum dialami sejarah
dunia sebelumnya.
Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan
juga sebagai anak kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak
bisa dilepaskan dari sifat dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif.
Perusahaan-perusahaan transnasional dan multi nasional, semakin kuat
mengcengkram Negara-negara yang sedang berkembang. Ekspansi dan eksploitasi
yang besar-besaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai contoh perusahaan
NIKE selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia dan
Thailand dimana upah sangat rendah. Ekspansi besar-besaran perusahaan
transnasional diiringi juga dengan model dan format kerja yang mereka persiapkan
(outsourcing), untuk diterapkan di wilayah pengembangan perusahaan. Ini
merupakan implementasi dari cirri globalisasi dimana perusahaan transnasional
melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan
ekonomi. Karena itu globalisasi adalah proses yang tidak adil dengan
distribusi-distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan
outsourcing di Indonesai sebagai salah satu Negara berkembang merupakan imbas
dari hegemoni kapitalis. Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan
sejak tahun 1980-an, model kerja ini disahkan keberlakuannya melalui keputusan
Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan
Pengelola di Kawasan Berikat.
Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri
perminyakan. Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses
panjang dan melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik
konsesi lahan, eksplorasi hingga produksi, transportasi, semuanya dilakukan
oleh perusahaan yang berbeda. Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil
maupun skala besar yang dimiliki oleh para kapitalis melalukan praktek outsourcing.
Ada beberapa alasan industri melakukan outsourcing yaitu ;
Pertama,
efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat melimpahkan kerja-kerja
operasional kepada perusahaan outsourcing;
Kedua, resiko
operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga
pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil
mungkin;
Ketiga, sumber
daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih
fokus dalam meningkatkan produksi;
Keempat,
mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang sebelumnya
untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional;
Kelima perusahaan
dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah;
Keenam,
mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan landasan hukum bagi pelegalan sistem
outsourcing yang menguntungkan pihak
penguasa modal dan sebaliknya sangat merugikan kaum buruh. Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan
outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan
outsourcing. Bunyinya sebagai berikut :
"Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau
buruh yang dibuat secara tertulis".
Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing merupakan salah
satu bentuk dari resistensi terhadap kapitalisme. Dalam persfektif buruh,
outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup bagi
mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya adalah
indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai
human rigth. Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian
mengenai hubungan kerja dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing.
2.1. Potret
Hubungan Kerja Dalam Model Kerja Outsourcing.
H
|
ubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering
menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai
faktor produksi yang dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan
sebagai model kerja yang menambahkan unsur 'pelaksana perkerjaan' diantara
relasi buruh dan modal. Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin
kabur, dan memperlemah bergaining position buruh terhadap pemilik modal.
Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup
hubungan industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau
hubungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Dalam model outsourcing
menjadi empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan
oustsourcing), perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing
sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam
perekrutan.
Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja
mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara
cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak
buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh
pemilik modal.
Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh
tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi
buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan
dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis
dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat
pada pemberhentian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan
digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara
cadangan. Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari
kewajiban-kewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja
buruh. Menurut Komang Priambada, pihak pengusaha berpendapat bahwa "Dari
mana pekerja itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan
urusan kita sebagai pemakai".
Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah
barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah traficking yang dilegalkan.
Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan
pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe
ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang.
Eggi Sudjana menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok
pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang
terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan
berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan
yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering
dieksploitasi. Hubungan perburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang
telah disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya
konflik perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan
kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat
disatu sisi pengusaha diuntungkan dan di lain sisi buruh dirugikan. Inilah
gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
2.2.
Kedudukan Buruh Dalam Model Kerja Outsourcing
B
|
uruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang
diperjualbelikan dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa
langsung mengganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus
dan harga yang murah. Buruh adalah alat atau faktor produksi setelah modal,
signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak
akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat
yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merakalah yang turut
langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen. Kanyataannya bahwa
buruh selalu dikebiri di sub ordinatkan dan gerakan-gerakannya selalu
dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal. Inilah wajah
kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh.
Outsourcing adalah model kerja yang mencederai makna HAM dan
Demokrasi. Celia Mather, mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah
utama yaitu ;
pertama,
tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi;
kedua, tidak
adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh;
ketiga
berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk ke dalam outsourcing,
kondisi buruh dalam ketidakpastian.
Menurut Celia Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui
kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh
tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun,
asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar,
tunjangan melahirkan.
Berikut dalam Tabel 1
Gambaran perbandingan hak buruh
tetap (Permanent), dan buruh kontrak
(Outsorcing) :
Tabel. 1
Gambaran Perbandingan Hak Buruh Tetap (Permanent)
dan Buruh Kontrak (Outsorcing)
Hak-hak Buruh
|
Buruh Tetap
|
Buruh Kontrak
|
Upah
Pokok (UP)
|
Minimal
UMK
Tunjangan
Masa Kerja (TMK)
UP=UMK+TMK
|
Hanya
UMK
|
Premi
kehadiran
|
Dapat
|
Tidak
dapat
|
Tunjangan
Jabatan
|
Pada
posisi tertentu ada
|
Tidak
dapat
|
Jaminan
Sosial Tenaga
Kerja
|
Dapat
Jaminan
Kecelakaan Kerja
Jaminan
Kematian
Jaminan
Hari Tua
Jaminan
Kesehatan (Bagi
buruh
dan Keluarga)
|
Tidak
dapat
|
Uang
Makan dan
|
Dapat
|
Transport
Tidak dapat
(Termasuk di dalam upah pokok) |
Hak
Cuti:
Tahunan,
Haid, dan cuti
hamil
|
Dapat,
untuk buruh
perempuan
yang hamil
mendapat
cuti 3 bulan dengan
dibayar
upahnya
|
Tidak
dapat, buruh
perempuan ketika
hamil
diputus
kontraknya. |
Tunjangan
Hari Raya
|
Dapat
|
Tidak
Dapat
|
Pesangon
|
Dapat
(dilindungi oleh
Undang-Undang)
|
Tidak
Dapat
|
Kebebasan
berserikat
|
Buruh
takut berserikat
karena langsung
dapat
diputus
hubungan kerjanya |
|
Perjanjian
Kerja atau
Kesepakatan
Kerja
|
Kolektif
melalui PKB
|
Individu
yang
ditandatangani
di awal
|
Sumber :
Position
paper KBC (Komite Buruh Cisadane), April 2004, hasil pendataan terhadap 150
perusahaan di Tangerang 2003-2004.
Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan
melemahkan perjuangan kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen
pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh. Sebab, buruh outsourcing bergerak
sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja dengan perusahaan secara
langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur
tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian
dalam hal ini adalah jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh
outsorcing sendiri berada di bawah kendali jasa penyalur.
3. Indikasi Pengingkaran Hak-Hak Buruh Dalam
Model Kerja Outsourcing
P
|
engingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian
telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis
(pemilik modal) dapat dilihat dari laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance
for Workers and Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan
NIKE. Hasil laporan dari wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan
dan perlakuan tidak sewajarnya terhadap pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah
30 persen buruh mengaku pernah melihat atau mengalami pelecehan atau penyiksaan
baik secara verbal maupun fisik, termasuk pelecehan seksual. Laporan tersebut
merupakan sebagian kecil dari potret bagaimana kondisi buruh dalam sistem
outsouring. Untuk memperjelas mengenai indikasi tersebut disini akan digunakan
persfektif alienasi dan nilai surplus Karl Marx.
3.1. Buruh yang Teralienasi
M
|
anusia merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan
seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja adalah sebuah proses dimana
manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan produktif. Manusia mempunyai kemampauan
untuk mengatur, memulai, dan mengontrol reakasi-reaksi material antara dirinya
dan alam. Karl Marx dalam teori alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi,
dalam menganalisis buruh dan perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal.
Perkembangan kapitalisme dan juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin
menguatkan eksploitasi dan ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural
maupun fungsional teralienasi.
Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara
penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah
melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya
mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja
outsourcing yaitu ;
- Pertama; buruh
kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya
kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam
pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka,
melainkan mereka bekerja untuk kapitalis. Buruh dicetak dan dibentuk
seperti mesin yang bekerja untuk pemilik mesin. Buruh kehilangan
kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk produktif untuk
mencukupi kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak untuk menciptakan
produk sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka sendiri.
Outsourcing melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama
terbentuk. Kondisi ini juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan
perusahaan inti terhadap buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam
kongres ICEM menyatakan bahwa kami memandang outsourcing sebagai bentuk
dari perbudakan dan ketidakadilan bagi kemanusiaan.
- Kedua, buruh teralienasi dari produk
hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi
mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam
satu rangkaian dengan tipe alienasi yang pertama. Buruh diposisikan
sebagai faktor produksi yang memproduksi barang untuk kepentingan
kapitalis dan akan mereka jual dipasar. Sebagai contoh buruh outsourcing
di perusahan Nike, tidak dapat serta merta dapat memiliki hasil dari kerjanya.
Meraka bisa memiliknya ketika mereka membeli produk itu dipasar tetapi
harganya tidak bakalan terjangkau oleh mereka.
- Ketiga, buruh teralienasi dari sesama
pekerja. Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus
kerja outsourcing ada varian lain, tidak seperti yang ditemukan pada
kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan
proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai
pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus loyal karena perjanjian
outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan pihak
buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan
pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekuatan yang
menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak dapat
berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga
kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat buruh
karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut
buruh kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.
- Keempat, buruh
tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja
tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi
ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi yang
cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka sepenuhnya.
Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga dan usaha
yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan buruh dalam
keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang memadai,
sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sistem tersebut.
3.2. Buruh yang Terpasung, Keringat untuk buruh
Nilai Surplus untuk Kapitalis.
B
|
uruh outsoursing sangat rentan dengan eksploitasi secara
besar-besaran oleh pemilik modal atau kapitalisme. Sistem outsourcing
mengakibatkan buruh benar-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu
berbuat apapun demikian juga untuk membela hak-haknya. Penerapan outsourcing
yang dilegalkan dengan adanya undang-udang memberikan landasan hukum dibolehkannya
praktek pengingkaran terhadap hak-hak buruh oleh negara. Kerja buruh seharusnya
di nilai dengan harga dan bayaran yang seimbang. Idealnya begitu yang
diharapkan oleh buruh baik secara personal maupun dalam gerakan kolektif yang
diperjuangkan serikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar menjadi
agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun demikian tuntutan itu
belum terwujud hingga saat ini.
Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi
biaya produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau
sudah direkayasa dalam sistem outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan
pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh
bahwa dibalik semua proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara
berkembang (satelit) terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank kapitalisme
pada dasarnya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum kapitalisme
dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah negara
satelit.
Akibat dari kerjasama antara modal asing dan pemerintah muncullah
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungakan modal asing dan borjuasi
lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut. Nilai
surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi
yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari
haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak
ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai dan
mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari
waktunya masih diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah bentuk
dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja
suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan.
Sistem outsourcing merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai
surplus yang dihasilkan buruh. Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus
dilakukan dengan perburuhan yang tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal system
pajak dan penanaman tanaman wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi massal
terjadi di berbagai tempat dan kapasitas.
Pada era ini negara memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis
untuk melanggengkan usahanya dengan system outsourcing yang dilindungi oleh
undang-undang. Lalu dimanakah peran negara dalam melindungi hak-hak buruh ini
menjadi permasalahan lain lagi dalam bingkai permasalahan perburuhan yang cukup
luas. Inilah yang selalu diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak keadilan
negara didalam memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak rakyat tercapai.
Dalam banyak kasus, kesempatan penulis wawancara dengan salah satu
buruh outsouring perusahaan
Transnasional Philips di Batam. Informan merupakan salah satu
supervisor di perusahaan tersebut, menurut dia bahwa mereka bekerja dibawah
tekanan, dimana tergetan-targetan harus dicapai secara maksimal. Ketika
tergetan tersebut belum tercapai maka dalam waktu 24 jam mereka harus lembur
untuk memproduksi barang yang di tergetkan tersebut, hari liburpun mereka tetap
masuk. dan bahkan ketika tergetan tersebut tercapai, saat pesanan atau order
untuk penjulan dipasar meningkat maka targetan-targetan tersebut semakin di
persempit dalam artian mereka harus menyelesaiakan tergartan dalam jangka waktu
yang lebih sedikit, kemudian lebih waktu tersebut di kuras lagi untuk
mengerjakan targetan yang berikutnya. Kerja seperti ini sudah menjadi rutinitas
yang kami lakukan, protes-protes tidak pernah dilakukan oleh karyawan disini.
Inilah gambaran dari banyak kasus yang menimpa buruh, mereka dalam
ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan yang luar biasa sehingga
kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena mereka tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja apalagi dengan serikat-serikat
buruh. Sistem outsoursing adalah modela rekayasa kerja yang paling
menguntungkan pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan salah satu dari banyak
keuntungan yang diambil oleh pihak kapitalisme, melalui perusahaan-perusahaan
mereka yang telah mennyebar dan menjalar keseluruh negara khususnya negara-negara
berkembang, yang sekaligus dijadikan pasar, dan akumulasi modal mengalir keluar
yaitu kepihak kapitalis. Hal ini senada dengan pendapat Paul Baran, bahwa
munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia barat ke
negara-negara dunia ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih
oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di
negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan
penyusutan modal.
5. Catatan Penutup.
O
|
utsourcing merupakan perkembangan dari mekanisme perburuhan di era
modern. Sistem kerja tersebut merupakan penjelmaan dari sifat kapitalisme yaitu
ekspansif dan eksploitatif yang telah menghegemoni negara-nagara berkembang. Model
kerja outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar
buruh, oleh pihak kapitalis. Disyahkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan model kerja outsourcing, merupakan
landasan hukum formal bagi penindasan dan penghisapan hak-hak buruh. Selain itu
sistem tersebut sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human
trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.
Ada beberapa indikator yang ditemui dalam sistem kerja outsourcing
yaitu :
·
Pertama, model
kerja outsoursing sebagai anak kandung dari kapitalis, sebagai wujud dari
pengingkaran terhadap hak-hak buruh.
·
Kedua, model kerja tersebut mengabaikan hak-hak buruh, dalam
hubungan, kedudukan, terjadi alienasi dan pengurusan buruh (nilai surplus).
Ketiga, Model kerja outsourcing obnormal, tidak memanusiakan manusia,
mencederai hak azasi manusia (human right).
Dengan berbagai anomali-anomali dari model kerja tersebut,
sehingga perlunya penguatan organisasi buruh untuk menghadang laju outsourcing
dan menjadikan outsourcing sebagai isu sentral dalam perjuangan hak-hak buruh.
DAFTAR REFERENSI :
Budiman, Arief. 2000. Teori
Pembangunan Dunia Ketiga. 2000. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .
Damam, Raharjo. 1987.
Kapitalisme Dulu Dan Sekarang. Jakarta .
PT. New Aqua Press.
Giddens, Anthony. 2007.
Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern. Jakarta .
UI-PRESS
Haryani, Sri. 2002.
Hubungan Industrial Di Indonesia. Yogyakarta. AMP YKPN
Khor, Martin. 2001.
Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan. Yogyakarta. Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas.
Mather, Celia. 2008.
Menjinakkan Sang Kuda Troya, Perjuangan Serikat Buruh Menghadang Sistem
Kontrak/Outsourcing. Jakarta .
TURC (Trade Union Right Centre)
Priambudi, Komang. 2008.
Outsourcing Versus Serikat Kerja. Jakarta .
Alihdaya Publishing.
Revrisond, Bawsir. 1999.
Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenada Media Group.
Silaban,Rekson. 2009.
Reposisi Gerakan Buruh, Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta .
Pustaka Sinar Harapan.
Sudjana, Eggi. 2002. Buruh
Menggugat Persfektif Islam. Jakarta .
Pustaka Sinar Harapan.
Susetiawan. 2000. Konflik
Sosial, Kajian Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara Di Indonesia. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Susetiawan. 2009.
Pembangunan dan Kesejahteraan Yang Terpasung, Ketidakberdayaan Para Pihak
Melawan
Konstruksi Neoliberalisme. Jogjakarta .
FISIP UGM
Undang-Udang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. 2008. Pustaka
Widyatama. Yogyakarta
Wibowo, I dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta.
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Data Internet dan Jurnal :
Jurnal
Analisis dokumentasi hak asasi manusia, Hak ekosob, pasar dan pemerintah. Maret
april 2008. ELSAM.
Gambaran Buruh Outsourcing. 2007. Esti Nuringdyah.
http//:www.soulfdistortion.wordpress.com/2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar